Jumat, 02 Oktober 2009

BENCANA DULU DAN SEKARANG SERUPA TAPI TAK SAMA

Segerombol orang melihat TV yang menayangkan Musibah Gempa di Sumbar. " waduuh, kok Tuhan membiarkan musibah, kan Maha Pengasih dan Penyayang..." seorang Ibu muda mengeluh sambil matanya menyaksikan evakuasi Korban di reruntuhan bangunan. "yaaa, itu namanya Takdir Ilahi bu, kita tidak tahu apa kehendak Nya..." jawab Sang Suami sambil memperbaiki kacamata nya, Tiba-tiba Mbah Wignio {panggilan sehari-hari} terdengar sentrap sentrup menahan ingus entah keluar atau masuk di hidungnya, Rokok Kelobot {rokok dibungkus daun jagung} nya terjatuh, tangannya bingung memegang hidung dan Srooot berusaha mengeluarkan ingus nya tapi tidak keluar, hanya percikan Air yang menyiram sudut tembok. "Lho Mbah kenapa?" tanya Hendik cucunya, sambil memungut Rokok si Mbah dan menyodorkan yang diterima si Mbah dan langsung melempar keluar ke halaman, dan rupanya rokok Kelobot tersebut sudah tak berasap alias mati, karena Kelobot harus kontinyu disedot, telat nyedot mati. Mata si Mbah basah dan berkata " Yaah, Masih untung nak, itu Orang bisa nunggu Mayit di Pakuasi, Dan bisa mengubur dengan layak para korban..." kembali si Mbah nangis hidungnya bersuara sruuup...Sruuup entah nyedot apa nyebul ingus, Semua perhatian beralih ke Mbah yang kurang lebih 77 tahun usianya, bukan ke TV lagi, "Lho Mbah kenapa kok nangis, sedih ya? udah jangan nonton TV mbah..." ucap Henny cucu perempuannya. " Endak, endak,Mbah endak sedih, bersyukur melihat Orang sekarang {Sruooot si Mbah telunjuk kiri ditempelkan hidung buang ingus menghadap sudut tembok}...Mbah Gembira lihat TV itu" Kontan Anak si Mbah sambil kacamata melorot dibawah mata " Lho Mbah {si Anak ikut manggil Mbah demi cucu} Ada apa to kok aneh..." si Mbah dengan suara bergetar menjawab " Yaaa sekarang enak, Dulu ketika sewidak limo [65] kamu masih bayi, Orang keluarganya mati tidak bisa ngubur, dibuang Kali Brantas...{uhuk....Uhuk...Uhuuuk...sroooop}" kembali si Mbah berusaha membuang ingus nya tapi habis. Tangannya ganti menyeka air mata yang mengalir dari mata kriput dan hitamnya sudah mengandung putih, dengan urat urat memerah disekitar bola matanya. "

Ya, sekarang bencana alam, dulu bukan..., Bencana oleh Manungsoo nak,...Mayat numpuk, kali Brantas penuh mayat tapi di bunuh, bukan bencanaa, Orang pada pada mbunuh tuu.... yang di cap pe ka i" Mata si Mbah menerawang melihat langit langit Gedek plavon rumah reyot nya. " sudah, sudah Mbah ndak mau cerita dah, biar jadi Pidio pribadi Mbah, soalnya Mbah tidak punya bukti poto, dulu belum ada kodak untuk motret, sekarang kan enak cucuku punya hen pon bisa motret si Mbah, dulu.....?" demikian lah Pandangan sebuah Keluarga kecil Mbah Soewignio di rumah Tembok hanya setinggi 0,7 M seterusnya Gedeg masih oblak oblak sebagian terbuka mirip Pendopo, dan gemuruh air kali brantas terdengar mengimbangi gemericik air hujan gerimis. si Mbah akhirnya duduk di Gardu depan rumahnya, sambil menggoyang goyang Kentongan Tua yang sudah hampir hancur dimakan rayap. didepan mata si Mbah masih terbayang bak Film Drama, yang masih seperti kemarin kejadiaannya, Dimana Banyak Orang di Bunuh dengan Klewang, tidak ada yang mengubur maupun nangisi, Kali Brantas penuh mayat tanpa kepala menuju Surabaya dimana Mbah Soemo Polisi Karang Pilang dibantu Mbah Rochmat, Pak Tawar juga Polisi muda dan penduduk menguburkan mayat-mayat tak dikenal sepanjang tepi Kali Mas anak Sungai Brantas.akhir tahun 1965. Kini Alam, Alam pun bisa sekejam manusia..

Ternyata bukan manusia yang bisa membunuh, Alam pun kini ikut kejam. Apakah Alam belajar dari Manusia? Tanyalah pada rumput yang bergoyang. Kita Prihatin dengan Bencana yang menimpa Negri ini, silahkan Baca Tulisan SABDOPALON yang memberikan Warning bangsa ini. Cobalah baca apa yang tersirat dari tulisan itu? Peringatan? Janji? entah apalah mari kita hormati karena tulisan itu adalah hasil guratan Leluhur kita sendiri. Cam'kan bahwa sekarang kita hidup tepat 500 tahun ketika Beliau menulis. Mbah Wignio salah satu anak manusia yang menyaksikan betapa kejamnya Manusia, kini menyaksikan Betapa Alam bisa kejam seperti Manusia, Alam belajar pada Manusia apa Manusia Ngajari Alam? Walahualam. Si Mbah tertidur pulas memeluk Kentongan Keramat nya saksi bisu dimakan rayap. Menunggu Fajar yang selalu menyingsing dipagi hari dan tak pernah berhenti. sejak dahulu sampai nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar